
Apresiasi Itu Gak Mahal, Tapi Masih Sering Dilupakan
Di dunia yang makin cepat, makin sibuk, dan makin penuh ekspektasi ini, ada satu hal sederhana yang sering terlupakan: mengucapkan terima kasih. Dua kata yang singkat, mudah diucapkan, dan tidak butuh biaya—namun entah kenapa, terasa berat sekali untuk dilontarkan oleh sebagian orang. Apalagi di internet.
Table Of Content
- Kenapa Terima Kasih Terasa Berat?
- 1. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi
- 2. Budaya Nyinyir yang Mendarah Daging
- 3. Gengsi untuk Memuji
- Ketika “Terima Kasih” Jadi Barang Mewah
- Yang Terlupakan: Di Balik Layar Ada Manusia
- Mengubah Kebiasaan: Memulai dari Hal Kecil
- Terima Kasih Bukan Soal Sopan Santun, Tapi Soal Kemanusiaan
- Membangun Budaya Apresiatif
- Penutup: Mari Lebih Ringan untuk Berterima Kasih
Padahal, kata “terima kasih”, atau bahkan sekadar “keren”, “bagus”, atau “mantap” adalah bentuk apresiasi paling dasar. The bare minimum. Tapi sayangnya, justru itu yang seringkali absen dalam interaksi kita sehari-hari—baik secara langsung, maupun di dunia digital.
Kenapa Terima Kasih Terasa Berat?
Seseorang bantuin kita. Mungkin dengan menjawab pertanyaan di grup WhatsApp, bantuin bawa barang, bikin desain, ngasih link, kasih solusi, atau bahkan cuma nyambungin ke orang lain. Respon paling sederhana dan manusiawi seharusnya adalah “makasih, ya.” Tapi yang terjadi? Dingin. Bisu. Atau malah… sinis.
Apresiasi itu effortless, tapi justru sering tergantikan oleh:
- Diam seribu bahasa
- Komentar ketus: “gitu doang?”
- Atau bahkan hinaan: “jelekkk amat”, “nggak guna”, “biasa aja sih”, “aku juga bisa”
Kenapa begitu?
1. Ekspektasi yang Terlalu Tinggi
Kita hidup di era serba instan. Semua hal bisa dicari di Google, didapat dari YouTube, atau bahkan ditanya ke ChatGPT. Akibatnya, orang jadi merasa entitled terhadap jawaban, solusi, atau bantuan. Seolah-olah orang lain memang wajib membantu mereka. Jadi ketika seseorang sudah membantu, reaksi pertama malah, “Emang harusnya gitu.”
Ini bahaya. Karena lama-lama, kita menganggap empati, bantuan, dan kebaikan itu adalah hal normal yang gak perlu dihargai.
2. Budaya Nyinyir yang Mendarah Daging
Ada semacam budaya online—dan bahkan offline—yang membuat orang merasa lebih keren saat bisa mengkritik. Menghujat. Mengoreksi. Seolah-olah dengan bilang “jelek”, kita jadi lebih pintar. Dengan bilang “gak bagus”, kita terlihat punya standar tinggi.
Padahal, memberi kritik tanpa empati itu bukan cerdas. Itu sinis. Dan yang lebih menyedihkan: sinisme sudah dianggap gaya hidup.
3. Gengsi untuk Memuji
Entah kenapa, bagi sebagian orang, memberikan pujian itu dianggap menurunkan harga diri. “Kalau gue bilang bagus, nanti dia jadi ngerasa paling hebat.” Ada rasa takut kalau pujian akan bikin orang lain besar kepala. Padahal sebenarnya, apresiasi bukan tentang membuat orang sombong. Tapi tentang menunjukkan bahwa kamu menghargai upaya mereka.
Bayangkan, seseorang sudah menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk bantu kamu. Tapi kamu malah memilih diam atau menyalahkan. Pantas nggak?
Ketika “Terima Kasih” Jadi Barang Mewah
Kita sering lihat ini di kehidupan sehari-hari:
- Desainer ditodong revisi berkali-kali, tanpa satu pun ucapan terima kasih.
- Guru bantu murid di luar jam pelajaran, tapi orang tua hanya tahu mengeluh.
- Driver ojol sampai lokasi dalam hujan, tapi penumpangnya cuma nyalahin “kenapa lama?”
- Teman bantuin cari koneksi kerja, tapi dilupakan begitu diterima.
Itu semua contoh kecil, tapi nyata. Masyarakat kita makin minim rasa appreciation. Padahal, gak ada yang rugi dari bilang “makasih”. Justru itu memperkuat hubungan, menjaga integritas, dan bikin orang lain merasa dihargai.
Yang Terlupakan: Di Balik Layar Ada Manusia
Kita kadang lupa, bahwa di balik layar yang membalas DM kita, yang menjawab pertanyaan kita, yang kasih review, yang ngedesain flyer, yang share info lowongan, itu adalah manusia.
Manusia yang bisa capek. Bisa kecewa. Bisa males bantu lagi kalau gak dihargai.
Kalau kamu pernah bikin sesuatu—konten, tulisan, karya seni, solusi IT, saran ke teman—lalu gak ada satu pun feedback positif, hanya kritik dan nyinyiran… kamu pasti tahu rasanya. Kosong. Kayak usaha kita gak berarti.
Di situlah pentingnya kata sederhana: “Thanks ya. Ini ngebantu banget.”
Mengubah Kebiasaan: Memulai dari Hal Kecil
Perubahan gak harus revolusioner. Bisa dimulai dari kebiasaan kecil. Misalnya:
- Balas pesan dengan sopan, meski hanya dengan emoji 👍 atau “thank you”.
- Komentari konten yang membantu kamu dengan ucapan positif.
- Tulis testimoni untuk orang yang jasanya kamu pakai.
- Kalau minta tolong, bilang ‘makasih’ meski hasilnya belum sempurna.
- Saat menerima layanan, hargai usahanya sebelum mengeluh.
Mudah? Harusnya. Tapi memang, hal sederhana seringkali paling sulit diterapkan. Karena kita terbiasa menganggap kebaikan itu kewajiban.
Padahal, tidak ada orang yang wajib membantu kita. Kalau mereka melakukannya, itu adalah bentuk kebaikan hati yang patut dihargai.
Terima Kasih Bukan Soal Sopan Santun, Tapi Soal Kemanusiaan
Ini bukan sekadar etika. Tapi soal menjaga ekosistem yang sehat—baik di lingkungan kerja, komunitas, maupun dunia digital. Ketika satu orang menghargai, maka yang lain termotivasi untuk berbagi juga. Tapi ketika semua saling menuntut, saling mengkritik, tanpa ada penghargaan… energi positif habis, semangat pun memudar.
Bayangkan dunia di mana semua orang mau bantu, tapi gak ada yang tahu caranya menghargai. Lama-lama gak ada yang mau bantu lagi.
Membangun Budaya Apresiatif
Budaya bukan cuma soal baju adat dan tari-tarian. Budaya juga soal bagaimana kita memperlakukan sesama.
Mau jadi orang yang ditunggu-tunggu kehadirannya? Yang bikin suasana adem dan menyenangkan? Mulai dari kata-kata kecil seperti “makasih ya”, “bagus banget ini”, “keren sih”, “aku terbantu banget sama kamu”. Ucapkan dengan tulus. Jangan pelit pujian.
Pujian yang tulus bukan berarti menjilat. Tapi menunjukkan bahwa kita peka dan menghargai.
Penutup: Mari Lebih Ringan untuk Berterima Kasih
Kalau kamu merasa artikel ini menyentil, mungkin kamu juga sedang belajar seperti saya. Belajar untuk lebih sadar, lebih peka, dan lebih apresiatif. Kita semua pernah jadi orang yang lupa bilang terima kasih. Tapi bukan berarti kita harus terus begitu.
Besok, saat ada orang bantuin kamu—meski cuma sedikit—coba ucapkan: “Terima kasih, ya. Aku menghargai bantuannya.”
Itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.
Dan siapa tahu, kata-kata kamu jadi alasan seseorang mau bantu lagi.
Mau berkarya lagi.
Mau percaya bahwa dunia ini belum sepenuhnya sinis.
Karena pada akhirnya, kebaikan itu menular. Tapi hanya kalau ada yang mulai.